Jumat, 19 Oktober 2018

Kemana Gerangan Perginya Suara Mahasiswa?

========================================================================
Volume 2                                                                                                                 
Oleh: Firman Fauzi/Mamen


               Dalam artikel yang pernah saya tulis, ada pembaca yang berkomentar bahwa dibutuhkan mahasiswa sebagai agent of change. Sekilas saya teringat pernah membaca pernyataan itu, tapi lupa dimana. Pernyataan itu lalu terlupakan, tapi hari ini muncul lagi dan saya baru menyadari bahwa beberapa tahun belakangan ini, jarang terdengar aksi demonstrasi mahasiswa. Kalau pun ada, skalanya kecil sehingga tak terlalu disorot media.
Kemana gerangan perginya suara mahasiswa?
               Peranan mahasiswa dalam mendirikan tonggak sejarah Indonesia tidak boleh diremehkan begitu saja. Berangkat dari kekecewaan akan ketidakadilan nasib untuk rakyat yang tetap miskin dan sengsara, sementara pemerintah bergelimang harta, membuat mahasiswa mulai bergerak. Opini yang pernah saya dengar mengatakan bahwa salah satu tugas mahasiswa adalah memastikan bahwa kinerja pemerintah on the track.
               Indonesia mencatat pernah melahirkan aksi-aksi mahasiswa untuk menyatakan kekecewaan mereka terhadap pemerintahan yang berlangsung. Dua yang terkenal di antaranya adalah demonstrasi tahun 1966 dan demonstrasi tahun 1998 karena kedua aksi ini merupakan titik tolak berakhirnya rezim pemerintahan lama dan dimulainya rezim baru.
               Pada tahun 1966, mahasiswa berdemonstrasi untuk menumbangkan rezim Orde Lama di bawah pemerintahan Soekarno. Mereka beranggapan bahwa pemerintahan Soekarno yang semula berasaskan keadilan, semakin lama semakin tidak terealisasi. Masih banyak ketimpangan sosial yang sangat mencolok. Rakyat semakin miskin sedangkan waktu itu Sang Presiden terus-menerus berpesta.
               Di masa inilah, Indonesia mengenal nama Soe Hok Gie dan Arif Rahman Hakim. Gie merupakan aktivis FSUI yang kerap menulis kritik untuk pemerintah di media massa, sekaligus arsitek dari demonstrasi long marchRawamangun – Salemba yang menyuarakan tiga tuntutan rakyat (Tritura). Sedangkan Arif Rahman Hakim adalah aktivis FKUI yang tewas tertembak dalam aksi itu. Dalam sebuah diskusi, Gie menyebutkan alasan mengapa mahasiswa lah yang harus demo.
“Kalau rakyat Indonesia terlalu melarat, maka secara natural mereka akan bergerak sendiri. Dan kalau ini terjadi maka akan terjadi chaos. Lebih baik kalau mahasiswa yang bergerak.”
               Gie menyatakan bahwa mahasiswa adalah the happy selected few (yang beruntung bisa kuliah) sehingga mereka lah yang harus bisa menyuarakan nasib rakyat dan menghasilkan perubahan. Saya menyimpulkan, inilah dasar mengapa mahasiswa disebut sebagai Agen Perubahan Bangsa.
               Aksi mereka membuahkan hasil ketika pada 11 Maret 1966 – yang lebih dikenal dengan istilah Supersemar – kekuasaan Presiden Soekarno berakhir secara de facto. Rezim Orde Lama kemudian digantikan dengan Orde Baru pimpinan Soeharto.
               Kemudian pada tahun 1998, ketika krisis moneter di Asia menyerang Indonesia, lahirlah demonstrasi mahasiswa Trisakti. Demonstrasi ini juga merupakan kritik atas pemerintahan Orde Baru yang dirasa diktatorial. Aksi mahasiswa kali ini membuahkan pengunduran diri Soeharto, dan menandai dimulainya era reformasi. Aktivis yang dikenal dalam aksi ini adalah empat mahasiswa Trisakti yang terbunuh, yaitu Elang Mulia Lesmana, Heri Hartanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie.
Peringatan Tragedi Trisakti 12 Mei 1998
Sumber : Kompas/Agus Susanto (AGS)
Lantas, kemana suara mahasiswa sekarang?
               Menurut saya, penyebab utama mahasiswa tidak lagi lantang adalah adanya perbedaan generasi. Tumbuhnya generasi baru yang diiringi modernisasi tentunya berbeda dengan generasi tua yang hidup di masa lalu.
Menurut BJ Habibie, Presiden RI ke-3, Indonesia memiliki tiga generasi :
  1. Generasi Sebelum Kemerdekaan – yang memiliki kesatuan pemikiran dan tujuan untuk meraih kemerdekaan republik. Rasa nasionalisme masih tinggi. Mahasiswa belum terlalu banyak karena hanya mereka yang kaya yang mampu kuliah, tetapi sebagian besar para mudanya concern pada urusan politik dan seringkali melibatkan diri di dalamnya, dibuktikan dengan banyaknya gerakan-gerakan pemuda.
  2. Generasi Setelah Kemerdekaan – masih memiliki concern yang sama dengan generasi sebelumnya. Hanya saja concern politik lebih terkonsep pada pengawalan jalannya pemerintahan. Mahasiswa mulai unjuk gigi menyatakan eksistensinya sebagai penyambung lidah rakyat. Contohnya adalah Demokrasi 1966 dan Demokrasi 1998. Nasionalisme juga masih tinggi.
  3. Generasi Millenial – dimana teknologi mulai merasuk dalam budaya Indonesia, membuat generasi mudanya lebih menekuni media sosial ketimbang memahami situasi politik. Animo pada politik berbanding terbalik. Semakin maju teknologi, semakin apatis generasi mudanya. Individualisme mulai terpatri dengan slogan ‘mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat’.
               Turun ke jalan sudah merupakan tradisi old school. Mengkritik pemerintah melalui media sosial dipilih sebagai jalan penyampaian aspirasi modern. Kritikan bersifat lebih privat dan menyuarakan suara pribadi ketimbang suara rakyat. Karena melalui network, sulit diketahui berapa banyak generasi muda yang peduli isu nasional. Tak dipungkiri bahwa secara tidak langsung perkembangan teknologi ini juga mengubah sudut pandang nasionalisme.
               Berubahnya spirit nasionalisme mahasiswa terhadap tanah air juga bisa dikarenakan di era reformasi ini tidak ada lagi musuh bersama yang harus ‘dikalahkan’. Sebagai contoh : pada rezim Orde Lama, musuh yang harus ditumbangkan adalah kolonialisme dan pada rezim Orde Baru musuh bersama adalah PKI.
               Namun di era reformasi sekarang ini, musuh negara bukan lagi penjajah atau pemerintah yang dikatorial. Pemerintahan di bawah rezim Jokowi saat ini dapat dikatakan sudah cukup berada di jalur yang benar, bersih, keadilan cukup merata, dan transparan sehingga tidak ada alasan untuk berdemonstrasi. Hasilnya, demonstrasi dapat ditekan.
               Kesimpulan saya, terlepas dari adanya perbedaan generasi dan perkembangan teknologi, mahasiswa pasti masih akan tetap bersuara jika terjadi kesenjangan sosial yang sangat kentara dan kinerja pemerintah yang out of track. Mahasiswa akan selalu menjadi the agent of change of the country.
Lalu, kapan ada demo menolak korupsi?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar